Jumat, 08 Mei 2009

STAI CIREBON DAN MASA DEPAN

STAI CIREBON
DAN UPAYA TEROBOSAN YANG HARUS DILAKUKAN

Ahmad Shafrullah Syahid

Tulisan ini Dalam rangka menyambut Hari Pendidikan Nasional, dan semoga dengan tulisan yang sangat singkat dan sederhana ini dapat membangunkan kita dari mimpi-mimpi panjang yang menyeramkan, membuka mata kita , melihat, berdiri, berjalan dan bekerja secara sungguh-sungguh didasari dengan niat yang tulus demi mengembangkan misi “IQRO’”melalui lembaga yang kita cintai ini. Oke….!!.



A. Awal Kata
Pada prinsipnya STAI Cirebon sebagai lembaga pendidikan tinggi, secara legal-formal eksistensinya tidak berbeda dengan PTU lainnya. Karena itu, sebagai bagian dari sub-sistem Pendidikan Nasional, (lihat selengkapnya UU. SPN No. 2 tahun 1989) STAI Cirebon juga terikat dengan komitmen mengemban misi utama perguruan tinggi, yakni Tri Dharma Perguruan Tinggi. Dalam rangka memegang kuat komitmen itulah, STAI Cirebon mewarnainya dengan citra diri yang menonjolkan kehidupan jiwa agama.
Meskipun memberikan tekanan lebih besar pada aspek keagamaan, tujuan perguruan tinggi secara umum dirumuskan secara nasional dalam UU. No. 2 Tahun 1989 pasal 16, yaitu: “untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi dan atau kesenian.” Tujuan nasional itu selaras dengan tujuan PT yang dirumuskan oleh para ahli pendidikan tinggi di berbagai negara maju. Misalnya, Komisi pendidikan tinggi Inggris, Robins Committee (1963) menetapkan bahwa tujuan PT adalah untuk mengajarkan ketrampilan yang sesuai dengan dunia kerja, mengembangkan daya berfikir, meningkatkan pembelajaran dan mentransmisi budaya umum (common culture) dan standar umum (common standard) warga negara. Merujuk pada laporan penelitian tentang fungsi PT yang diedit oleh W. Taylor (1987), dalam OECD (organization for Economic Co-operation and Development) disebutkan bahwa di antara tujuan PT adalah (1) melaksanakan riset, memenuhi kebutuhan sumber daya manusia, menyajikan pelatihan dan pendidikan spesialis tingkat tinggi, memperkuat daya kompetetif, dan membuka jalan bagi mobilitas sosial.
Dalam pada itu, sudah semestinya STAI Cirebon memiliki pilihan yang kritis untuk mengembangkan citra dirinya dengan menekankan aspek kualitas di atas kuantitas. Untuk itu beberapa orientasi yang patut dijadikan pijakan dan sekaligus ditumbuhkembangkan, antara lain:



B. Beberapa Persoalan Nyata

Out-put STAI Cirebon dihadapkan pada tuntutan yang beragam. Dalam hal ini terpolarisasi kepada dua kelompok masyarakat, yakni “ahli agama tradisionalis dan modernis.” Untuk kelompok ahli agama tradisionalis pada umumnya menilai, pertama: mahasiswa dan lulusan STAI Cirebon umumnya tidak memiliki pengetahuan yang memadai atau kalau tidak disebut sangat lemah dalam penguasaannya terhadap teks-teks klasik (kitab kuning), dibandingkan mereka yang berlatar belakang pesantren. Padahal literatur pokok yang harus dipelajari di STAI Cirebon bersumberkan pada teks klasik itu sendiri. Oleh karena itu, sebagai tempat “kawah candradimuka” pembinaan calon intelektual muslim, STAI Cirebon harus mampu memberikan kemampuan berbahasa Arab secara memadai, sehingga memungkinkan mahasiswa dan lulusannya dapat mengkaji kitab-kitab klasik tersebut secara kritis analitis dan rasional. Kedua, tidak sedikit jumlah alumni STAI Cirebon yang dianggap kurang trampil dalam melaksanakan fungsi pelayanan terhadap umat, terutama memimpin berbagai acara ritual keagamaan, seperti tahlil, talqin, marhaban dan lain-lain. Dengan demikian, alumni STAI Cirebon di samping mempunyai kemampuan intelektual yang memadai, mereka juga dituntut memiliki kemampuan praktis untuk melaksanakan fungsi ritual keagamaan bagi masyarakat muslim secara luas. Sebab, dalam pandangan masyarakat umum, STAI Cirebon merupakan lembaga pendidikan bagi kaderisasi calon ulama. Karenanya, tuntutan masyarakat yang demikian bagaimanapun juga harus diakomodir. Lebih-lebih dalam realitasnya, sebagian besar alumni STAI Cirebon pada saatnya akan kembali ke masyarakat yang notabenenya masih membutuhkan bimbingan ritual keagamaan.
Di sisi lain ahli agama modernis menilai, pertama: mahasiswa dan alumni STAI Cirebon umumnya cenderung berfikir normatif an sich, mereka kurang mampu memahami konteks dan substansi empiris dari persoalan-persoalan agama. Dengan kelemahannya menangkap aspek empirisme dari berbagai problematika keagamaan yang timbul, ini berakibat pada kekurangmampuan mereka mengemukakan alternatif-alternatif penyelesaian masalah yang sifatnya cukup realistik. Implikasi lebih jauh adalah lahirnya sikap dan cara pandang mahasiswa terhadap agama dalam kaitannya dengan tantangan modernisasi cenderung sangat sempit, atau bersifat legalistik dan formalistik. Atas dasar ini, maka diperlukan wawasan empiris selain penguasan terhadap teks-teks klasik. Untuk itu kerja sama kontak dan konsultasi dengan perguruan tinggi non-agama tidak dapat dihindari. Pada bagian lain, materi pengajaran yang berkaitan dengan pandangan-pandangan keagamaan, hendaknya juga berorientasi pada situasi nyata yang dihadapi oleh umat dewasa ini.
Kedua, sisi minus lain dari STAI Cirebon adalah kelemahannya di dalam mengembangkan pengetahuan baru. Kondisi ini sangat kontras dengan situasi dunia saat ini, yaitu menggejalanya pengaruh ledakan ilmu pengetahuan (explosion of knowledge) terhadap pola-pola pergaulan antara bangsa. Pada umumnya bangsa-bangsa atau kelompok-kelompok yang mampu menghasilkan pengetahuan baru akan mampu merebut tempat yang menguntungkan dalam interaksinya dengan bangsa atau kelompok lain. Fakta menunjukkan bahwa dominasi kebudayaan Barat atau Jepang atas budaya-budaya lain di dunia ini, pada dasarnya disebabkan oleh kemampuan bangsa tersebut mengembangkan pengetahuan baru, informasi baru, teknologi baru dan budaya baru.
Dilihat dari sudut ini, jelas bahwa pola pendidikan STAI Cirebon yang hanya menekankan kemampuan untuk memahami serta mengulang-ulang pengetahuan yang sudah ada dan mengabaikan kemampuan untuk mengembangkan diri bagi pengetahuan baru, pada akhirnya akan membuat alumni STAI Cirebon menjadi pihak-pihak yang dirugikan dalam interaksinya dengan pihak lain. Untuk itulah diperlukan kerja sama interdisipliner pada setiap cabang ilmu pengetahuan, tak terkecuali ilmu agama.


C.TEROBOSAN YANG HARUS DILAKUKAN

Guna mengatasi berbagai masalah dan beragamnya persoalan yang dihadapi, maka tidak ada alternatif lain bagi STAIC kecuali membuat dan melakukan terobosan – terobosan (break through) melalui langkah-langkah yang jelas dan berkesinambungan dengan tetap dijiwai dan disemangati oleh ruh ke-Islaman sebagai jati dirinya.
Beberapa terobosan tersebut meliputi, pertama: civitas akademika STAIC, khususnya para pimpinannya harus memiliki keberanian membebaskan visinya dari belenggu formalisme dalam segala bentuknya yang membatasi radius wawasan dan geraknya.
Terobosan kedua, pimpinan dan seluruh keluarga besar STAIC harus mau bekerja keras untuk menjadikan lembaganya semakin besar dengan jalan berikhtiyar secara terus menerus memenuhi kebutuhan pokoknya, baik fisik mapun non-fisik lainnya. Ini berarti sikap kerja yang amatiran mesti dihindari dan dibuang jauh-jauh, lebih-lebih orientasi kerja yang hanya menunggu datangnya proyek pemerintah. Sebaliknya mereka harus mampu menampilkan sikap idealisme dan profesionalisme dengan tetap memegang teguh prilaku amanah, akhlak mulia, confident dan open management.
Terobosan ketiga, menanamkan dan menumbuhkan komitmen ke-Islaman dengan pendekatan ilmiah dan amaliah, baik formal maupun non-formal. Untuk ini diperlukan adanya diversivikasi program dengan mengembangkan model integrative approach pada semua aspek kegiatannya lewat pemanfaatan sarana-sarana yang tersedia.
Terobosan keempat, menjadikan program-program studi yang ada di STAIC bersifat dinamis dan terbuka. Artinya perlu membabat sekat-sekat yang mengkotak-kotakan satu dengan lainnya. Dalam hal ini pendekatan inter dan antar disiplin ilmu perlu lebih terbuka untuk dikembangkan.
Terobosan kelima, menjadikan STAIC sebagai pusat studi ke-Islaman, sekaligus juga sebagai lembaga pendidikan tinggi Islam yang kondusif bagi lahirnya cendekiawan muslim atau ulama plus. Untuk itulah upaya non-formal yang mengarah pada takhashush atau pendalaman dan spesialisasi ilmu, perlu terus digalakkan.
Menyadari akan posisinya sebagai pendidikan tinggi Islam, maka STAIC harus bersiap-siap diri menjejakkan langkahnya terus menerus ke atas “fase pengakuan dan penghargaan masyarakat” guna menghidupkan ruh Islam yang rahmatan lil ‘alamin, sehingga mampu mengemban misi agama Allah sebagai agama dakwah melalui gerakan pembaharuan (tajdid).
Dengan demikian, beberapa upaya lain yang patut dijadikan konsideran utama STAIC adalah:

Harus lebih membuka diri dan terbuka untuk menerima kritik dan in-put dari masyarakat luas yang bersifat konstruktif, guna perbaikan dan penyempurnaan program dan aksinya di masa mendatang.
Melengkapi berbagai sarana dan prasarana, baik yang berbentuk perangkat keras maupun lunak (hard wares and soft wares) untuk meningkatkan perannya dalam mengemban tugas akademik yang tertuang pada Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Meningkatkan kemampuan akademik dan ketrampilan lainnya bagi jajaran staf pengajar serta tenaga personalia, melalui jenjang pendidikan atau pelatihan yang lebih tinggi, kalau perlu keluar negeri dan dibayai oleh lembaga yang bersangkutan atau sponsorship
Memperluas jaringan kerja sama, baik sesama lembaga perguruan tinggi, lembaga kajian, maupun instansi pemerintah dan swasta pada level regional, nasional dan bahkan internasional.

Sesungguhnya inventarisasi masalah dan upaya pemecahannya yang diungkap oleh tulisan ini, baru sebagian kecil saja. Namun, jika segenab keluarga besar STAIC menyadari bahwa kita memang betul-betul sedang menghadapi masalah internal yang serius, kemudian kita berkemauan keras dan bertekad untuk keluar atau setidaknya meminimalisir masalah-masalah tersebut, maka beberapa alternatif di atas merupakan di antara jalan keluarnya.

D. Akhir Kata
Demikianlah setetes sumbang saran saya dari lautan permasalahan yang kita hadapi, semoga gagasan ringan dan sederhana ini dapat menjadi titik awal perenungan kita untuk mengatasi setitik demi setitik atas problematika yang ada.
Fastabiqu al-khairot

Wassalamu’alaikum wr. wb.

Cirebon, 02 Mei 2009

IR . A. SHAFRULLAH SYAHID,.S.Pd.I

Tidak ada komentar:

Posting Komentar